SUARA SALIRA | KOTA TASIKMALAYA, 17 Juli 2025 – Tim dari LBH BAPEKSI (Barisan Pejuang Demokrasi) baru-baru ini mampir ke kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tasikmalaya di Jalan HZ. Mustofa. Tapi jangan salah sangka, mereka ke sana bukan buat ngopi-ngopi, melainkan ngebahas isu yang cukup serius: dugaan adanya kredit fiktif yang nyangkut ke salah satu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPR), yakni BPR Syariah Al Wadi’ah.
Ceritanya berawal dari seorang warga bernama Alin Agustriani, yang kaget banget setelah tahu namanya “dipakai” dalam urusan pinjam-meminjam di bank tersebut — padahal dia nggak pernah ngerasa ngajuin pinjaman apapun. Lebih janggal lagi, BPKB miliknya yang sebelumnya udah lunas, eh, ternyata malah “hidup lagi” dijadiin agunan atas nama orang lain. Gimana nggak bingung?
Audiensi ke OJK itu langsung dipimpin oleh Ketua LBH BAPEKSI, Mardiguntara, yang disambut baik oleh perwakilan dari OJK Tasik. Sayangnya, pihak bank yang dituding terlibat justru nggak muncul dalam mediasi yang sebelumnya udah dijadwalkan. Hal ini bikin pihak LBH makin geregetan.
“Ini bukan cuma soal lupa datang, tapi udah masuk ranah serius karena menyangkut privasi dan hak nasabah. Masa data orang bisa disalahgunakan kayak gitu?” ujar Mardiguntara dengan nada kecewa.
Menurutnya, kasus Alin ini jadi bukti nyata bahwa ada bolong besar di sistem verifikasi bank tersebut. Dan ini bisa jadi jalan buat orang-orang yang nggak bertanggung jawab melakukan penyalahgunaan data.
LBH BAPEKSI pun ngasih tekanan ke OJK supaya bergerak cepat — biar ada kejelasan tanggung jawab dari bank, dan tentunya biar nasabah yang jadi korban bisa dapet perlindungan maksimal.
“Kami apresiasi banget sikap OJK Tasik yang terbuka dan welcome dengan laporan masyarakat. Harapannya sih, dari kasus ini bisa muncul solusi yang adil dan bisa jadi pelajaran buat semua pihak, biar nggak kejadian lagi ke depannya,” kata Mardiguntara.
LBH BAPEKSI juga komit buat terus ngawal kasus ini sampai tuntas, termasuk mendorong agar lembaga keuangan bisa lebih niat dalam menjaga keamanan data dan kepercayaan publik.
Heri Heryanto